Friday, October 31, 2014

Aku Tak Berhak



Semoga kau dapat rasakan aliran air hujan yang tersisa ditanganku yang sengaja kurambatkan pada tanganmu
seperti itulah rasanya kini hatiku
Semoga kau pahami bahwa daun yang jatuh tak pernah membenci angin pun badai
Pun langit tak jua benci pada awan yang tutupi birunya nan indah malah kadang bersanding membentuk rupa yang bermakna
Apatah lagi aku tak berhak memelihara benci karena aku hanyalah sekumpulan daging dan tulang dari setetes mani yang hina pun engkau dan jua mereka yang kelak akan kembali menjadi asal; tanah
dan segenap laku tingkah kita, ucap kita, ataupun satu huruf goresan pena mesti dipertanggungjawabkan
adakah dibayang kita? pun daun yang jatuh tak lepas dari kuasaNya apatah jua luka pada

Syurga Rindu, Akupun Begitu


Suatu saat, jika aku tidak lagi di Aceh, aku akan merindukan sosok itu. Sosok yang menurutku sangat luar biasa. Dia begitu manis. Dan pandangan pengharapannya agar bisa ke Padang itu selalu terbayang.
"Sudah berapa hafalan mu dc?"
"10 juz kak"
"Subhanallah"
Mataku berkaca-kaca, umurnya masih 9 tahun ketika ku bertanya. Ku lihat diriku, berapa tahun sudah umurku? Ah, lebih dari 1/5 abad. Namun hafalanku? Ah, sangat jauh darinya.
Ku lihat senyumnya, dia meminta biodata dan juga cerita singkat dariku. Ku tulis di buku catatan pribadinya. Luar biasa rasanya ketika aku bertemu para hafizhah ini secara langsung.
Beda lagi dengan dek Hafni, senyumnya malu-malu jika melihat kedatanganku, dia selalu mengejar untuk sekedar salaman ataupun cipika-cipiki denganku. Dia baru berumur 12 tahun, dan hafalannya 30 juz. Subhanallah. Sekarang dia membantu membimbing hafizhah lain yang sedang meningkatkan hafalan.
Ada yang unik di kamar mereka. Dipenuhi dengan istilah-istilah bahasa Arab dan juga bahasa Korea. Sebagian dari mereka menyukai bahasa Korea.
Kebiasaan mereka juga membuat aku semakin merasa kecil. Bangun 02.30 untuk